Laman

Minggu, 19 Juni 2016

Emosi Menjadikan Anak Tak Bernilai




Adakah yang bisa menghitung, atau menjawab pertanyaan, berapakan nilai anak bagi orang tuanya? Jawabannya pasti sulit. Karena nilai anak tak bisa diukur dengan materi, tak ternilai.
Sadar  atau  tidak, anak sering dianggap bernilai rendah di mata orangtua, dibanding benda-benda ata materi yang dimiliki orang tua tersebut. Secara tidak sadar, langsung atau tidak langsung, anak tak jarang memperoleh nilai rendah dari sebuah benda kesayangan orang tuanya.
 Misalnya, ketika si anak bermain dan secara tidak sengaja memecahkan sebuah guci krstal kesayangan orang tuanya, maka secara naluriah akan memecahkan perasaan anak, dan secara tidak sadar, si orang tua lebih menghargai guci kristal, ketimbang anaknya. Bahkan kadang, nilai si anak lebih rendah dari  semangkok sayur yang tertumpah, karena tangan kecilnya berusaha membantu ibu di dapur. Marah-marah dengan nada tinggi, terkesan lebih menghargai semangkuk sayur ketimbang perasaan si anak.
Atau secara reflek atau tak sadar perasaan anak tidak penting ketimbang mobil barunya yang tergores mainan anaknya. Orang tua lebih menyayangkan goresannya, ketimbang goresan luka di hati sang anak.
Kini, lebih parah lagi dengan adanya mainan baru melalui gadgetnya, atau kegemaran nonton sepakbola di televisi, dibanding waktunya lebih banyak untuk anak-anaknya. Apalagi, mendengarkan cerita anaknya di sekolahnya, teman-temannya, pelajarannya dan sebagainya. Tapi ketika sang anak memegang atau menyentuh handphonenya, spontan dengan nada tinggi sang orangtua berteriak, “ Eh jangan, nanti rusak…!”. Artinya kekhawatiran HP rusak lebih besar dibanding kekhawatiran rusaknya perasaan sang anak.
Akhirnya muncul pertanyaan. Berapa nilai anak bagi kita…? Nilainya adalah, sejauhmana keikhlasan kita menahan diri hingga tidak merusak hatinya, dengan emosi merendahkan nilai kasih sayang buat sang anak, dibanding harta kesayangannya.
Nilai anak akan terasa tinggi, bahwa anak adalah investasi tak ternilai buat kehidupan masa datang, ketika orang tua sudah udzur. Anaklah satu-satunya tempat tambatan hidup kelak.Tak kalah penting, anak adalah untuk memperpanjang historis silsilah keturunan di masa datang. Maka itu, sebagai orang tua, sudahkah menyiapkan masa depan anaknya, agar lebih baik?. Semua tergantung program ke depan, bagi masing-masing orangtua. **

Rabu, 06 April 2016

Kasus Kekerasan Terhadap Anak, Terus Meningkat


Kekerasan terhadap anak, semakin hari semakin mengkhawatirkan. Bagi para orangtua hal ini tentu harus meningkatkan kewaspadaan atas keamanan anak-anaknya terhadap berbagai macan jenis kekerasan yang dialami terhadap anak. Kekerasan-kekerasan terhadap anak memang bervariatif. Antaralain,atas kasus pendidikan, kasus kesehatan dan napza, cybercrime, pornografi dala lain-lain. Anak juga bisa menjadi korban juga jadi pelaku.
Menurut data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan ini, tiap tahun mengalami kenaika yang signifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kekerasan, 2012 terjadi 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus, dan hingga April 2015 terjadi  6006 kasus. Variasi kekerasannya seperti yang disebutkan di atas, dan kasus tertinggi adalah atas pengasuhan, 3160 kasus. Sungguh memprihatinkan dan mengkhawatirkan.
Kasus-kasus kekerasan anak itu, bisa terjadi di rumah atau lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat. Dari hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa: 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.
KPAI tentu tidak setuju, bahwa kasus-kasus kekerasan anak, memakai istilah kejahatan. Karena istilah tersebut  belum dibakukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
.


18.000 Anak Jalanan Yang Rentan Dieksploitir
               Ada  18 ribu Anak Jalanan Tersebar di Indonesia. Jumlah itu yang terpantau oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mereka sangat rentan sekali menjadi obyek kekerasan, perdagangan, ekonomi, dan seksual. Banyak faktor, sebagai pemicunya, salah satunya adalah kemiskinan. Faktor lainnya yang mnyebabkan mereka ‘menggelandang’ di jalanan karena teksploitir, keterpaksaan untuk menyambung hidup, dan ikut-ikutan karena terpengaruh rekan sebaya atau teman. Dan pada akhirnya anak-anak ini keenakan hidup di jalanan dan merasa nyaman.
              Padahal,  kerasnya kehidupan di jalanan bukanlah dunia yang baik bagi prkembangan anak seusia itu. Belum lagi penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran terhadap anak-anak jalanan, sedikit rumit penyelesaiannya, karena menyangkut, pendidikan, sosial, ekonomi dan hukum.
Dilema itu seperti diakui oleh Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto. “Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tak cukup dengan pendekatan hukum saja terhadap para pelaku eksploitasi Anak Jalanan. Tetapi harus dikolaborasikan dengan pendekatan pendidikan dan pemberdayaan. Sebab, jika pelaku ditangkap dan dipenjara, tanpa ada upaya merubah mental, kemungkinan pelaku akan mengulangi perbuatannya itu lagi,” ujar Susanto, di Jakarta.**




 

Selasa, 16 Februari 2016

Memilih Alas Kaki, jangan Hanya Terpaku Model



         Orangtua perlu bijaksana, dalam membelikan alas kaki anaknya. Khususnya, bagi balita yang periodisasi perkembangannya lebih cepat dibanding usia-usia di atasnya. Paling tidak hingga usia 10 tahun, ukuran sepatu anak-anak bisa berubah sekitar 34 kali. Maka itu, bagi balita usia sekitar 2-5 tahun, memerlukan alas kaki yang dapat menunjang pertumbuhan kakinya, agar nantinya, langkah dan bentuk kakinya bisa proporsional. Maka itu, memilih sepatu atau alas kaki untuk balita perlu bijaksana. Jangan hanya terpaku model saja.
          Kalau bisa, hindari alas kaki yang terbuat dari plastik, alasan utamanya selain keras, juga tak menyerap keringat. Kulit sintetis bolehlah, yang penting alasnya lentur, bisa mengikuti lekuk telapak kaki. Jangan lupa pula, ukuran yang pas, agar si kecil merasa nyaman memakainya. Jangan terlalu besar, karena bisa mengakibatkan kesrimpet dan jatuh. Kekecilan juga tidak baik, selain tidak nyaman, juga bisa membuat kaki sakit. Apalagi, bagi balita yang lincah, gak bisa diam dan energik, akan relatif aman, apabila dipilihkan alas kaki yang terbuat dari karet atau sneaker tapi tidak mudah slip, selain nyaman dan awet, juga lentur. Baik untuk tulang kaki.
          Soal model, pilihlah yang lucu. Untuk ini, bisa libatkan si kecil ikut memilih yang dia suka. Tapi batasilah opsi pilihan, dengan pertimbangan-pertimbangan seperti di atas. Sebaiknya, ganti alasa kaki secara periodik. Paling tidak, dua sampai tiga bulan sekali, untuk menyesuaikan dengan perkembangan proses berjalan mereka.
          Sedikit catatan tambahan. Bagi bayi berusia 1-12 bulan, alas kaki bisa berfungsi sebagai pelindung, dan penghangat, terutama saat diajak ke luar rumah saja. Sebaiknya pada usia ini, saat dirumah tak beralas kaki. Cara ini dapat membantu perkembangan otot kaki mereka. Biarkan mereka menendang-nendang dan merangkak tanpa alas kaki. Dan apabila di lantai, pastikan lantai Anda bersih dan tidak ada benda-benda yang bisa melukai kakinya, bahkan ada balita yang suka memasukkan benda apa saja yang ditemukan di lantai, kemulutnya.

 Lomba Lari Balita
 Pada usia 11 bulan, umumnya bayi mulai belajar jalan. Maka, kalau ingin membelikan mereka alas kaki, perhatikan beberapa hal. Antaralain, pilih bahan yang lembut, lentur, dan mampu mengeluarkan uap panas dari sepatu. Selain yang tidak mudah slip, pastikan solnya yang tipis, agar bayi tetap bisa merasakan lantai yang diinjaknya. 
Untuk memastikan ukuran yang pas, masukkan jari kelingking Anda di belakang tumit si kecil, saat mencoba alas kaki. Pastikan juga ada ruang selebar jempol Anda antara ujung jari kaki tertinggi (terpanjang), dengan bagian depan alas kaki.**

Senin, 15 Februari 2016

Pasar Mainan Anak Terlengkap Segala Usia



Bagi orang Jakarta dan sekitarnya, PasarGembrong, sudah tidak asing lagi. Khususnya bagi yang akan berburu mainan untuk buah hatinya. Di sini tersedia mainan untuk anak-anak segala usia.

Tepatnya, di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, atau di jalan Basuki Rahmat, sebelah kiri dari arah Cawang, atau Jalan DI Panjaitan dari arah Kampung Melayu, tak jauh dari Universitas Mpu Tantular, Cipinang Baru (lihat peta).

Pasar ini juga sering disebut Pasar Prumpung, karena lokasinya di Prumpung. Atau ada juga yang menyebutnya Pasar Senggol, karena pasar ini didominasi oleh lapak-lapak dan bangunan semi permanen. Ini yang membuat lorong untuk konsumen yang berburu mainan relatif sempit, akibatnya, pengunjung saat berpapasan secara tak sengaja harus bersenggolan. Karena itu, disarankan bagi pengunjung pasar Gembrong, jangan membawa anak kecil.

Soal harga, bisa disesuaikan dengan kemampuan kocek masing-masing. Karena di sini ada mainan produk lokal, juga produk luar negeri, dengan ribuan jenis mainan anak. Menurut beberapa pengunjung Pasar Gembrong, harga mainan di sini relatif murah bila dibandingkan dengan tempat lain, apalagi dengan harga di mall, sudah pasti lumayan selisihnya. Misalnya saja, harga mobil-mobilan remot control . Di mall harganya bisa mencapai Rp500 ribu, di Gembrong Rp350 ribu. Jadi, sebaiknya bagi yang berniat belanja di Pasar Gembrong, cek lebih dulu, harga-harga dengan barang yang sama di tempat lain.

Pasar Gembrong buka sejak pukul 08.00, hingga 20.00, dan pada hari-hari libur, lorong-lorong semakin sempit, karena banyak PKL penjual mainan anak dadakan. Mainan di pasar Gembrong ini kebanyakan terbuat dari bahan plastik, sehingga relatif aman bagi anak-anak. Namun perlu diingat juga, berhati-hatilah dan cucilah sebelum di kasihkan si anak. Apalagi bagi anak yang masih suka memasukkan mainan ke dalam mulutnya. Mudah-mudahan bermanfaat.**



Sabtu, 13 Februari 2016

Anak-Anak Main Gadget, Beresikokah?






Dua bulan lalu, saya pulang kampung, ke Jawa. Naik KA dari stasiun Gambir, pukul 06.15. Saya dapat tempat duduk berseberangan dengan dua anak laki-laki yang usianya beranjak remaja. Kelihatannya dua nank ini kakak-adik. Usianya kira-kira 12 tahun, adiknya sekitar 10 tahun. Dan ibu anak-anak tersebut, bersama anggota keluarga yang lain, duduk di kursi belakangnya.

Sejak saya duduk, dua anak tersebt sedang asyik memainkan gadget, tanpa peduli sekitarnya. Ibunya memanggilpun hanya dijawab: “hhmm...entar,” ...tanpa reaksi apa-apa, kecuali dia hanya memperhatikan layar gadgetnya dengan wajah serius. Sebentar terlihat tegang, kadang terlihat emosi, serta sedikit senyum. Rupanya mereka berdua sedang main game.

Lima jam kemudian saya nyampai tujuan, lalu turun. Tapi dua nanak ini masih asyik main gadget. Entah berapa jam anak-anak ini sudah memelototi gadgetnya. Mungkin saat duduk di KA, atau bahkan dari rumah, maupun sejak semalam. Entah berapa jam anak-anak ini memelototi gadgetnya. Tanpa disadari, bahwa emosi, pikiran (logika), dan fisiknya telah terkuras oleh pengaruh game yang ada di gadgetnya. Sementara sang ibu asyik-asyik saja ngobrol dengan kelompokk ibu lain, tanpa peduli anaknya sedang terhanyut di dunia yang susah dijangkau. Bahkan panggilannya yang tidak direspon dengan baik oleh anak-anaknya-pun, bagi si ibu gak masalah.

Itu secuplik gambaran bagi dua anak ABG yang terbius oleh kecanggiah gadget. Mungkin ada ribuan atau jutaan anak-anak seusia dia, bahkan ada yg balita sudah diperkenalkan dengan kotak tipis yang super canggih itu. Sinar, suara, warna, serta keindahan fitur dan aplikasi lainnya gadget itu sendiri yang menarik, dan mewah. Bagi anak-anak kota, dan pada umumnya dari orang tua yang secara ekonomi mapan. Smartphone, tablet, notebook dan aneka gadget lainnya juga sudah jamak digunakan anak-anak kita.

Bagi orang tua mungkin bermaksud mengenalkan teknologi gadget itu sejak dini kepada anak-anaknya. Tapi ada juga, orang tua yang sengaja memfasilitasi, agar anaknya tenggelam dalam keasyikan bergadget, agar orang tua lebih leluasa beraktivitas tanpa perlu terus-terusan mendampingi anaknya, terutama bagi orangtua2 yang super sibuk. Anak-anak yang senang bermain gadgetotomatis akan betah di rumah. Jika anak betah di rumah, orang tua akan lebih leluasa

Beresikokah?....

Banyak literatur yang mengungkapkan pemakaian gadget baru diperkenankan pada anak yang berusia 10-13 tahun. Ada juga yang memberi rekomendasi usia dibawahnya. Dr. Ahmad Suryawan pada website mutiara-hati.com mengatakan bahwa jika ingin memberikan gadget pada anak, sebaiknya orang tua melakukannya pada saat anak sudah berusia di atas 6 tahun, karena pada saat itu perkembangan anatomi otak anak sudah 95% dari otak dewasa.
Berikut rangkuman beberapa bahaya gadget pada anak-anak:
Yang utama, resiko dari radiasi elektromagnetik. Seperti kita ketahui, setiap gadget memiliki paparan elektromagnetik yang dapat mempengaruhi tubuh. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja tidak disarankan untuk terpapar radiasi elektromagnetik dalam jangka waktu lama. Akibatnya perkembangan kogintif anak berjalan lambat, susah berkonsentrasi dan akibat negatif lainnya. Padahal semestinya usia anak-anak adalah usia untuk mengeksplor seluruh bakat psikomotorik yang dimilikinya, seperti menggambar, bernyanyi, bermain bersama rekan sebaya dan kegiatan lainnya.

Saat melakukan aktivitas fisik seperti ini, sejumlah kemampuan lain juga akan diasah sekaligus. Seperti saat menggambar, anak juga belajar mengembangkan otak kanannya. Saat bermain bersama rekan sebaya, anak akan belajar mengasah keterampilan sosialnya. Kesulitan beradaptasi dengan materi pelajaran.

Aplikasi-aplikasi dan sistem operasi pada gadget menyajikan interaksi multimedia yang memikat. Permainan warna, animasi ditambah suara membuat anak betah berlama-lama di depan layar gadget. Pada saat masa sekolah tiba, anak yang terbiasa berinteraksi dengan gadget akan menemui kesulitan untuk menyerap materi pelajaran sekolah yang cenderung statis. Apalagi kebiasan dengan memelototi layar gadget yang warna warni dan dinamis, kemudian di sekolah hanya menghadapi, nuansa hitam-putih (papan tulis) saja...hahaha...**



Rabu, 10 Februari 2016

Lucunya Terasa Indah, Membanggakan sekaligus Menghibur

Anak usia 2-3 tahun, memang sedang lucu-lucunya. Nggemesin. Bahkan kita sering terpancing, dengan keinginan kita, agar si kecil, bisa atau menguasai seperti yang kita inginkan. Sabarlah, dan ikuti kemampuan serta kapasitas kemauan si kecil pada usianya, kecuali untuk hal-hal yang membahayakan, maupun yang tidak baik untuk perkembangan si kecil. Kita harus sadari dan memahami betul, bahwa si kecil belum bisa berkomunikasi dengan kata-kata.
Suarakan dengan nada lembut, bercanda ringan, misalnya soal hitungan, maupun nyanyian-nyanyian pendek anak-anak. Dan sebaiknya jangan memaksa, agar si anak mengikuti apa yang kita inginkan. Sebaiknya kalau si anak sudah tidak mau mengikuti apa yang kita ajarkan, ya biarkan, ganti dengan pola lain. Yang perlu diingat adalah, dengan usia sama, belum tentu memiliki kesamaan kemampuan dengan anak sesusia lainnya, dalam menerima apa yang kita berikan.**

Rabu, 27 Januari 2016

Nangis Tengah Malam Tanpa Sebab


Sering, pasangan muda kebingungan, oleh anak balitanya yang kadang nangis di malam hari, menjelang tidur, maupun bangun tidur dan rewel di tengah malam. 

Seperti biasanya, tiap akhir pekan, anak dan cucu berkunjung dan nginap di rumah saya, kakeknya. Siang hingga sore, si kecil yang berusia 18 bulan, bermain ceria tanpa ada ganguan apapun. Termasuk makan dan minum tidak susah. Pendek kata, menjelang tidur, cucu sudah terpenuhi kebutuhan secara fisik.

Tengah malam, saat kita semua sedang lelap tidur, si kecil tiba-tiba bangun dan nangis, istilah jawanya nangis ‘kejer’. Kedua orang tuanya akhirnya terbangun, dan meneggendongnya, tapi volume nangisnya gak berkurang. Di kasih susu botol, air putih, di nina bobo tetap gak merubah intensitas menangisnya

Padahal, seperti yang difahami hampir semua ibu-ibu, anak yang bangun di tengah malam dari tidurnya dan langsung menangis, biasanya karena kehausan, lapar, terlalu kelelahan bermain, gerah, atau siang sebelumnya terlalu sering diledek (digodain) teman sebayanya. Namun solusi umum seperti itu terpatahkan oleh sikap cucu saya malam itu. Intensitas maupun volme tangisannya sama sekali tidak berkurang. Ibu dan ayahnya mulai panik, karena berbagai upaya dilakukan, tak membuahkan hasil, termasuk saya mulai khawatir.

 Lalu saya perhatikan ekspresi cucuku yang sedang menangis. Dengan wajah seperti orang ketakutan sambil melihat ke satu arah. Cucuku terus-menerus memandang ke sudut atas kamar tidurnya. Sebentar membenamkan wajahnya ke dada ibunya, sambil matanya melirik ke arah atas sudut kamar tersebut.

Sebagai seorang muslim saya pernah memperoleh pencerahan, dari seorang ustazd, bahwa untuk mengusir dari gangguan setan, setan jin, adalah dengan membacakan Surat Al Baqarah: ayat 1,2,3,4,5, ayat 163, ayat 255 (ayat Qursy, dan 3 ayat terakhir surat Al Baqarah (284, 285, 286), dibaca disambung jadi sekali bacaan. Setelah itu berdoalah: “Ya Alloh jauhkan kluarga kami dari godaan syetan yang terkutuk. Amin”.

Alhamdulillah, cucu saya berangsur tertidur di gendongan ibunya. Semua memang karena Alloh. (Bagi yang beragama kristen, kalau tidak salah/ mohon koreksi, bisa dilihat/dibaca, di http://indonesia.ucanews.com/2013/02/23/pengalaman-pengusiran-setan-tuhan-yesus-hadir/)

Rabu, 20 Januari 2016

Menyikapi Anak Senang Lempar Barang



Balita memang senang sekali sesuatu yang memiliki hubungan sebab-dan-akibat dan rasa ingin tahu tinggi. Misalnya, dengan menjatuhkan atau melempar suatu objek, akan menimbulkan suara macam-macam tergantung barang apa yang dilemparnya, tanpa di mengetahui tingkat bahayanya.

Saat dia melempar sendok, terdengarlah bunyi gemerincing, juga timbul suara lain, saat gelas jatuh membentur lantai, dan sebagainya. . Nah, eksperimen2 kecil-kecilan seperti ini sangat menakjubkan bagi seorang batita maupun balita Anda. Dari momen2 yang menurut orang dewasa gak ada artinya ini, tapi bagi balita, merupakan ‘keberhasilan’ yang membuatnya ingin mencoba lagi, dan lagi.

Jika balita melempar sesuatu, bukan berarti membangkang. Itu bisa jadi karena terjadi miskomunikasi, yang terkendala. Fahamilah, ketika si kecil berulah, Anda harus cepat tahu apa maunya, apa yang dibutuhkan. Tapi jangan lupa, sampaikan kepadanya dengan lembut tapi meyakinkan, tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilempar. Kasih contoh-contoh ringan dan sebab-akibatnya. Secara perlahan, katakan, “Tidak boleh melempar nak,” sambil gelengkan kepala Anda secara tegas dengan wajah yang serius, tapi tidak membuat takut si kecil. Bila Anda tenang dan konsisten, ia akan belajar dengan caranya kok.**